Minggu, Juni 03, 2012

review jurnal pengertian hukum ekonomi (revisi)

review jurnal pengertian hukum ekonomi

jurnal review wajib daftar perusahaan (revisi)

Review jurnal

Wajib Daftar Perussahaan Sebelum Dan Sesudah Berlakuanya UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Wahyuni Safitri, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda)

review jurnal hukum dagang (revisi)

Review Jurnal Hukum Dagang (Revisi) Jurnal Hukum dan Perdagangan
Jurnal Hukum dan Perdagangan Musim Semi 1997 Perkembangan Terkini Sehubungan dengan Cisg KESEPAKATAN KONTRAK BERDASARKAN CISG del Pilar Perales Viscasillas

Abstraksi

Dalam jurnal ini berisi tentang Jurnal Hukum dan Perdagangan Musim Semi 1997
dibahas secara sistematis sehingga memudahkan pembaca dalam memahami perkembangan terkini tentang kesepakatan kontrak berdasarkan CISG.

Pendahuluan

Konvensi PBB tentang Kontrak untuk Perdagangan Barang Internasional, yang juga dikenal sebagai Konvensi Wina (selanjutnya disebut Konvensi atau CISG), saat ini merupakan bagian dari hukum domestik di sekitar lima puluh negara. Penerimaan yang luas oleh negara-negara dengan sistem sosial, hukum, dan ekonomi yang berbeda menunjukkan keberhasilan besar yang telah dicapai oleh Konvensi. Bagian II dari Konvensi, yang ditujukan khusus untuk kesepakatan kontrak dengan pernyataan tentang pertemuan dua kehendak (penawaran dan penerimaan), merupakan contoh umum kompromi antara sistem hukum Civil Law dan sistem Common Law. Penghalang yang paling besar pada saat pencapaian penyeragaman normatif Konvensi Perdagangan adalah konfrontasi hukum-teknis antara negaranegara
penganut Common Law dan negara-negara penganut Civil Law. III. Pembahasan
Kedua sistem tersebut dipertemukan di dalam Konvensi untuk menunjukkan
permasalahan formatif dari kesepakatan kontrak dalam pemisahan tradisionilnya menjadi dua
buah pernyataan kehendak (penawaran dan penerimaan). Kedua sistem tersebut juga
menunjukkan perbedaan yang pada awalnya nampak tidak mungkin untuk diselesaikan. Bahkan, Bagian II dari Konvensi - penyusunan - seringkali membuktikan kompromi antara negara-negara dengan prinsip hukum yang berbeda: kontrak harga terbuka (pasal 14(1) dan 55), dapat ditarik kembali dan tidak dapat ditarik kembalinya penawaran (pasal 16); penawaran balik (pasal 19); dan Teori Penerimaan sebagai waktu ketika pernyataan-pernyataan kehendak secara tertulis, termasuk kesepakatan kontrak, berlaku (pasal 23 dan 24). Semua pasal tersebut menunjukkan keseimbangan yang sempurna antara berbagai prinsip yang mendasari sistem-sistem hukum tersebut. Keseimbangan tersebut tidak mengimplikasikan bahwa peraturan penyusunan yang ada dalam Konvensi (atau keseluruhan teks Konvensi dalam hal ini) dibuat atas dasar pemilihan common rule (ketentuan yang serupa) yang paling sesuai untuk sistemsistem hukum yang berbeda tersebut. Sebaliknya, Konvensi memiliki sistem khususnya sendiri yang dalam beberapa hal secara jelas menunjukkan kompromi hukum. Meskipun demikian, kompromi tersebut dibangun atas dasar pengaturan perdagangan internasional, yang tetap berada di bawah pengaruh praktik-praktik dagang yang telah berkembang, di bawah bayang-bayang penerapan secara permanen, serta dalam lingkup penafsiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip keseragaman, internasionalitas dan itikad baik.

II. Teori Klasik tentang Waktu Tercapainya Kesepakatan Kontrak Waktu tercapainya kesepakatan kontrak biasanya dianalisa dengan menggunakan empat
teori; sebagian besar dari teori-teori tersebut telah diadopsi dalam beberapa sistem hukum. Teoriteori
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Teori Deklarasi Berdasarkan Teori Deklarasi, kesepakatan kontrak tercapai pada saat pihak penerima
penawaran menyatakan penerimaannya secara tertulis. Karena komunikasi yang tidak
dialamatkan kepada pihak yang dituju tertentu dianggap hanya sebagai pernyataan kehendak,
teori ini tidak diterima dalam Konvensi.
B. Teori Ekspedisi atau Pengiriman Berdasarkan Teori Ekspedisi atau Pengiriman, kontrak terbentuk pada saat pihak
penerima penawaran mengirimkan penerimaannya kepada pihak pemberi penawaran.
Konsekuensi dari Teori ini adalah bahwa resiko pengangkutan ditanggung oleh pihak pemberi
penawaran. Konvensi mengadopsi Teori Ekspedisi sebagai pengecualian terhadap
Prinsip Penerimaan sementara Undang-undang Hukum Dagang Spanyol mengadopsi
teori tersebut untuk menentukan kapan kontrak disusun. Teori ini juga telah diterapkan di
negara-negara lain.
C. Teori Penerimaan Tidak seperti teori-teori yang telah dibahas sebelumnya, Teori Penerimaan
mempersyaratkan penerimaan pernyataan kehendak supaya kontrak dapat terbentuk. Konvensi
Wina menggunakan Teori Penerimaan sebagai peraturan umum untuk semua pernyataan
kehendak yang dibuat secara tertulis dan bentuk komunikasi apa pun yang ditemukan di dalam
Bagian II. Dalam sistem Common Law, telah cukup dijelaskan bahwa peraturan kotak
pos tidak berlaku apabila pihak penerima penawaran menggunakan sarana komunikasi selain
surat atau telegraf, Teori Penerimaan digunakan untuk menentukan susunan kontrak pada
saat pihak penerima penawaran menggunakan sarana komunikasi langsung, seperti
faksimili, teleks, Pertukaran Data Elektronik (EDI) dan E-mail. Teori ini
juga telah diterapkan di negara-negara lain.
D. Teori Informasi Teori Informasi merupakan teori penyusunan kontrak yang paling kaku karena teori tersebut mempersyaratkan pengetahuan tentang penerimaan agar kontrak dapat terbentuk. Konvensi Wina mengadopsi Teori Informasi untuk penyusunan kontrak secara lisan.
Dalam sistem Common Law, kontrak lisan terbentuk pada saat pihak pemberi penawaran
mengetahui penerimaan. Undang-undang Hukum Perdata Spanyol menggunakan Teori
Informasi untuk menetapkan waktu terbentuknya kontrak perdata. Teori Informasi juga
telah diterapkan di Venezuela.

IV. Kesimpulan
Istilah “sampai” dalam Konvensi memiliki arti yang serupa dengan istilah “menerima”
dalam butir 1-201 dari Uniform Commercial Code (UCC) Amerika Serikat. Demikian
pula, dalam sistem hukum Jerman, “menerima” sejajar dengan zugehen. Secara umum,
istilah tersebut serupa dengan Teori Penerimaan untuk pernyataan tertulis dan Teori Informasi
untuk pernyataan lisan berdasarkan sistem hukum Spanyol.
Konvensi mengharuskan adanya komunikasi langsung kepada pihak yang dituju, atau
penyampaian komunikasi ke tempat usaha atau alamat pos atau, terakhir, apabila tidak ada
tempat-tempat tersebut, ke “tempat tinggalnya.” Oleh karena itu, apabila pihak pemberi
penawaran memiliki lebih dari satu alamat pos, alamat yang paling erat hubungannya dengan
kontrak dan pelaksanaannya adalah yang paling sesuai. Apabila para pihak belum menyepakati
tempat mana pun secara tegas, berdasarkan kebiasaan atau dengan cara lain maka pasal 24 akan
diterapkan dan penyampaian ke tempat tinggal menjadi sah. Dalam praktiknya, hal ini
merupakan kejadian yang tidak biasa.
Ada kemungkinan bahwa alamat yang diberikan oleh pihak pemberi penawaran tidak
sama dengan tempat mana pun yang tercantum dalam pasal 24. Contohnya, apabila pihak
pemberi penawaran telah menyepakati dengan perusahaan lain untuk menerima pesan-pesannya
melalui faksimili tetapi tidak memiliki faksimili, komunikasi mulai berlaku setelah penerimaan
pada alamat tersebut di atas. Pesan tersebut tidak perlu “sampai” kepada pihak pemberi
penawaran agar mulai berlaku.
Komunikasi dapat “sampai” kepada sebuah pihak melalui penerimaan oleh pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut harus merupakan wakil sah dari pihak mana pun yang terkait. Para
ahli Konvensi setuju bahwa permasalahan yang terkait dengan perwakilan kekuasaan yang cukup
sesuai dengan hukum domestik yang tidak seragam, yang akan diterapkan karena perwakilan
adalah masalah keabsahan, harus diselesaikan. Pada akhirnya, komunikasi kepada pihak
ketiga akan diatur oleh pasal 24 sama dengan apabila komunikasi tersebut telah dilakukan secara
langsung ke tempat-tempat yang sesuai untuk menerima komunikasi.

Daftar Pustaka : www.google.com

Nama Kelompok :

- Anggi Mustika Sari (20210824)
- Hastanti Rusvita Mei (23210182)
- Putri Khoirunnisa (25210455)
- Rani Nuraini (25210644)
- Rika Agustina (25210942)

Kelas : 2EB06

Review Jurnal Hukum Perdata (Revisi)


Review Jurnal Hukum Perdata (Revisi)
Kerjasama Internasional di Bidang Hukum Perdata
Andreas Bintoro Dewanto

Abstraksi

Uraian ini berusaha menunjukkan arti penting gagasan kollewijin tentang unifikasi Hukum Perdata Internasional. Sudargo Gautama sangat mendukung perwujudan gagasan ini. Bagi dia, keikutsertaan Indonesia dalam konperensi-konperensi Internasional bukanlah masalah gengsi akan tetapi masalah kebutuhan nyata. Amerika serikat memberikan sumbangan besar dalam penerimaan konvensi tentang Administrasi Nasional dari waisan-warisan dan konvensi tentang Product Liability.

Pendahuluan

Dalam pidato Dies Universitas Indonesia pada tanggal 10 ferbruari 1973, Sudargo Gautama mengingatkan kembali tetang gagasan kollenwijin.
Pokok masalah yang diidentifikasikan oleh kollenwijn ialah :
Prinsip manakah yang terbaik untuk menentukan apa yang di namakan status personil ( personeel statuut) seseorang ?
Kita mengenal dua prinsip di bidang ini :
1.      Prinsip nasionalitas
Hukum yang ditentukan oleh kewarganegaraannya
2.      Prinsip domisili (domicilie)
Tempat domisili seseorang menurut hukum yang menentukan status personilnya.

Pembahasan

Secara garis besar Negara-negara di dunia juga dapat di kelompokkan menjadi dua golongan yaitu yang menganut prinsip nasionalitas dan yang menganut prinsip domisili. System hukum yang di anut tiap Negara bersifat rsional dan seringkali berbeda satu sama lain. Oleh karena itu orang selalu mendambakan adanya harmonisasi, bahkan unifikasi hukum perdata nasional.
Dua cara unifikasi yang kita kenal adalah :
1. Mengunifikasikan seluruh system hukum Negara-negara yang turut menandatangani suatu konvensi yang berkaitan dengan masalah unifikasi ini. Dengan kata lain orang dapat menciptakan “droit uniforme” (uniform law). Contoh : konvensi wesel dan cek tahun 1930 yang di tanda tangani di JENEWA.
2. Menyeragamkan kaidah-kaidah hukum internasionalnya saja. Jika untuk masalah-masalah tertentu dipakai kaidah-kaidah hukum perdata nasional yang sama, maka persoalan hukum perdata internasional akan diselesaikan dengan seragam. Contoh : perkara adopsi yang yang diadili oleh hukum Negara yang menerima konvensi Den Haag tentang adopsi.
Usaha untuk mewujudkan Unifikasi Hukum Perdata Internasional telah di mulai sejak tahun 1893 di Den Haag. Konperensi-konperensi HPI di Den Haag pada mulanya masih bersifat konperensi diplomatic untuk menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI. Indonesia untuk pertama kalinya turut serta sebagai pengamat dalam komperensi Den Haag XI untuk HPI. Delegasi Republik Indonesia di pimpin oleh Sudargo Gautama, dan anggota lainnya. Indonesia juga sudah mulai membuka diri terhadap perkembangan hukum perdata internasional UU No.5 Thn 1968 yang di umumkan dalam lembaran Negara 1968 No. 32 memuat persetujuan pemerintah RI terhadap konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara warga asing mengenai penanaman modal.
Pada mulanya orang telah sepakat bahwa dalam rangka perjanjian internasional ,hukum yang berlaku ialah hukum yang dipilih oleh para pihak sendiri. Para sarjana semua setuju bahwa hukum telah dipilih oleh para pihak itulah hukum yang pertama-tama harus dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional.

Kesimpulan

Pada konperensi hukum internasional ini, Indonesia masih sebagai pengamat. Merupakan harapan banyak pihak, bahwa nantinya Indonesia akan jadi anggota penuh. Semula konpernsi di Den Haag memiliki tujuan secara progresif mengadakan unifikasi dan kodifikasi Hukum Perdata Internasional. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa konperensi-konperensi Den Haag tidak lagi mencapai kodifikasi menyeluruh tetapi hanya terbatas pada kaidah-kaidah hukum perdata internasional untuk masalah-masalah tertentu.

Daftar Pustaka :
-        Gautama, S ( 1983 ), Capita selecta Hukum Peerdata Internasioanal, Bandung : Alumni.
-        Gautama, S. ( 1985 ), Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung : Alumni
-        Gautama, S ( 1986 ), Indonesia dan Arbitrase Internasional, Bandung : Alumni.
-        Gautama, S. ( 1987 ), Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta: Binacipta.

Sumber:http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-akuntansi/article/view/8/pdf


Nama Kelompok :
-        Anggi Mustika Sari (20210824)
-        Hastanti Rusvita Mei (23210182)
-        Putri Khoirunnisa (25210455)
-        Rani Nuraini (25210644)
-        Rika Agustina (25210942)

Kelas : 2EB06

jurnal review subjek dan objek ekonomi (revisi)

jurnal review subjek dan objek ekonomi
 
PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA
DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA
Oleh: Sarah S. Kuahaty


ABSTRACT

Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemerintah adalah lembaga publik dapat juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapat dibuktikan dengan terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.

PENDAHULUAN

Hukum dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
Tidak dapat di pungkiri bahwa pemerintah dalam kegiatan sehari-hari melakukan tindakan-tindakan bisnis dengan pihak non-pemerintah. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. Oleh karenanya agar prosedur pengadaan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, maka hubungan hukum yang tercipta haruslah dibingkai dengan hukum yang dikenal dengan kontrak. dalam pasal 1 angka 22 Perpres 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Secara sederhana kontrak dapat digambarkan sebagai suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu. Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata.

PEMBAHASAN

1. Subjek Hukum perdata
Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum di kenal dengan istilah subjek hukum. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Karena masih ada subjek hukum lainnya yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk apa yang disebut badan hukum. Istilah subjek Hukum berasal dari terjemahan rechsubject (Belanda) atau law of subject (Inggris). Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Didalam berbagai literatur di kenal 2 (dua) macam subjek hukum yaitu manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson).
Pada Dasarnya manusia mempunyai hak sejak di lahirkan, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang yang telah dewasa dan/atau sudah menikah . Sedangkan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang di taruh di bawah pengampuan dan seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 BW). Pengertian badan hukum hanya dapat di lihat dalam doktrin ilmu hukum.
2. Kedudukan Pemerintah
Dalam perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi objek hukum administrasi negara.
3. Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang Atau Jasa
Dalam pengadaan barang barang atau jasa, pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau kontrak pengadaan jasa. Dengan kata lain pemerintah menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Dalam konteks demikian pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasanya, walaupun pemerintah merupakan lembaga yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat mengatur (regulator). Hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 BW.
Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat di temukan dalam pasal 1653 BW, yang menyebutkan:
“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga di akui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakui sebagai demikian, entah pula badan hukum itu di terima sebagai yang di perkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”.
Selanjutnya pemerintah selaku badan hukum dapat melakukan tindakan perdata sebagimana di tegaskan dalam pasal 1654 BW, yang menyebutkan:
“ Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu”.
Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa.
Dengan kata lain pemerintah menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan subjek hukum privat lainnya yakni orang maupun badan hukum, Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa. Hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sampai kepada prosedur pelaksanaannya harus diatur secara jelas dan dituangkan dalam bentuk kontrak.
Kedudukan Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.

KESIMPULAN

Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) untuk melakukan perbuatan hukum. Dikenal 2 (dua) macam subjek hukum perdata yakni manusia (naturlijk person) dan badan hukum (recht person).
Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang didalamnya terdapat organ pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan.
Tindakan hukum badan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum. Pemerintah menjual dan membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan menggadaikan, membuat perjanjian, dan mempunyai hak milik. Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.
DAFTAR PUSTAKA

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005;
Daliyo, J. B, et.all, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992;
Philipus M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1982;
Salim H. S. Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008;
Simamora,Yohanes Sogar, Pembentukan Dan Pelaksanaan Kontrak Pengadaan, Seminar Nasional Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006;
Soemitro, Rochmat, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung,1993


Nama Kelompok :
-        Anggi Mustika Sari (20210824)
-        Hastanti Rusvita Mei (23210182)
-        Putri Khoirunnisa (25210455)
-        Rani Nuraini (25210644)
-        Rika Agustina (25210942)

Kelas : 2EB06