Senin, Februari 14, 2011

Berbagai Kesenjangan yg Menghambat Perekonomian Indonesia

BAB 1


 

PENDAHULUAN

    Tanpa terasa Indonesia telah berusia setengah abad. Suatu usia "remaja" untuk sebuah negara, namun cukup tua untuk dituntut menunjukkan segala sesuatu yang telah dan harus dicapainya. Indonesia perlu merenungkan berbagai pencapaian, juga kegagalannya di segenap bidang, termasuk bidang ekonomi.

    Laju pertumbuhan indonesia begitu cepat bahkan berada di atas rata-rata negara sedang berkembang. Masalah sandang dan papan serta kesehatan telah mengalami perbaikan, namun di sisi lain masih banyak yang harus dibenahi.

Perkembangan yang terjadi dalam perekonomian dunia semakin lama berlangsung semakin cepat dan sulit diprediksikan, sejalan dengan semakin majunya ilmu pengetahuan. Dalam kondisi seperti ini kita diharuskan untuk berbenah diri, menyongsong segala tantangan dan perubahan yang ada di hadapan kita.

    Dalam tulisan ini akan membahas kesenjangan yang menghambat suatu Negara untuk mencapai suatu kemakmuran yang bersendikan azas keadilan sosial. Ada tiga kesenjangan , yaitu : 1) Kesenjangan kemakmuran antar kelompok pendapatan., 2) Kesenjangan antar sektor, yang juga dapat dipilih menjadi kesenjangan antara unit-unit ekonomi yang besar (konglomerat) dan yang kecil atau kalangan pengusaha lemah antara lain diwujudkan oleh struktur yang bersifat oligopolistik; serta 3) Kesenjangan antar daerah

Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut.


 

BAB 2


 

  1. Kesenjangan kemakmuran antar kelompok pendapatan


     

  • Kemiskinan dan Pemerataan

    Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat hubungan tidak searah antara keberhasilan perkembangan makroekonomi dengan unsure pemerataan (lihat Anwar, Azis, Basri, 1992).

Data-data resmi pemerintah menunjukakn terjadinya penurunan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, yakni dari 42,5 persen di tahun 1976 menjadi 15,2 persen pada tahun 1990.

Apabila ditelusuri lebih jauh, kenaikan 10 persen atas batas/tolok ukur pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai garis kemiskinan akan segera meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia sebesar kira-kira 30 persen.

Seandainya saja pertimbangan masih bisa ditambah lagi dengan kelemahan-kelemahan metodologis, maka kita akan semakin dituntut untuk berhati-hati di dalam menafsirkan indicator-indikator keberhasilan seperti angka kemiskinan ini.

Persoalan pemerataan ini mungkin lebih transparan. Sulit untuk menyangkal bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia semakin meburuk. Konglemerasi dan praktek perbankan pasca Pakto 1988 menyebabkan dana-dana masyarakat terkonsentrasi pada sekelompok pengusaha besar saja.

  • Profil Kemiskinan

    Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya "si miskin" dan dimana dia berada. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dari profil kemiskinan.

    Pertanyaan pertama tentang siap si miskin? Kita dapat melihat profil kemiskinan berupa karakteristik ekonominya seperti pendapatan, pengeluaran, tanggungan dll. Juga dapat dilihat dari karakteristik sosial-budaya dan demografi seperti pendidikan, fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga , kebersihan dll.

    Pertanya kedua tentang dimana si miskin berada? Kita dapat melihat di karakteristik geografisnya, seperti menetukan tinggal di desa atau di kota, apakah tinggal di luar Jawa atau di Jawa. Untuk mengetahui lebih dalam kita dapat melihat karakteristik sosial-budaya, ekonomi dan demografi termasuk karakteristik geografi.

    Dengan melihat profil kemiskinan, diharapkan kebijakan yang disusun dalam mengentaskan orang miskin akan lebih terarah. Dalam memaparkan profil kemiskinan, rumah tangga dan juga anggota rumah tangga akan dibagi ke dalam dua kelompok: kelompok rumah tangga "miskin" dan "tidak miskin".


 

  1. Kesenjangan antar sektor


     

  • Konglemerasi dan Konsentrasi Usaha

    Konsentrasi kekuatan ekonomi semakin meningkat di berbagai sektor industri dan bidang usaha, sehingga pasarnya pun kian mengarah ke struktur yang oligopolistik atau monopolistik dan bersifat enclave. Untuk lebih memahami karakteristik mereka, ada baiknya untuk menatap permasalahannya dari tinjauan ekonomi-politik.

    Sepanjang sejarah industrialisasi Indonesia, pemerintah yang selalu mendominasi, seperti langsung terlibat dalam pembangunan proyek-proyek industri besar. Sedangkan peranan swasta masih relatif sangat terbatas. Kebanyakan mereka mulai memupuk kekuatan dengan mengandalkan kedekatan dengan birokrasi dan elit politik. Kelompok ekonomi yang tumbuh selama kurun waktu itu hanya mengandalkan, atau paling tidak sangat ditopang oleh fasilitas Negara.

    Proses industrialisasi yang berlangsung di Indonesia pada awalnya amat tergantung pada proyek pemerintah, khususnya proyek PERTAMINA. Begitu peranan minyak merosot , proses industrialisasi Indonesia juga langsung merosot. Kelangkaan dana tidak memungkinkan untuk melanjutkan strategi Industri Substitusi Impor (ISI), dan sejak itu banyak tekanan menuju industrialisasi ekspor mejasi semakin menguat.

    Konsekuensinya pemerintah harus terus memperkokoh stabilitas politik. Namun begitu kondisi politik sudah stabil dan lingkungan ekonomi menjadi lebih kondusif, kebijakan di bidang industri semakin sulit di tebak arahnya. Banyak peraturan yang tidak konsisten.

  • Industri Besar dan Kecil

Industri kecil dan rumah tangga bergantung kepada industri besar, namun industri besar terkait dengan luar negri yang terlihat dari ketergantungan kepada impor. Pada umumnya industri kecil dan industri rumah tangga tidak mampu untuk berkembang dinamis, sehingga bisa mencapai skala yang lebih besar menjadi industri menengah dan besar. Fenomena ini terjadi karena berbagai factor seperti struktur proteksi yang berlaku di industri Indonesia yang berat kepada industry besar dan kendala sosio-kultural yang cenderung menghambat dinamika kewirausahaan.

Sampai saat ini pemerintah telah menempuh upaya untuk memungkinkan pengusaha lemah/industri kecil untuk bertumbuh. Beberapa diantaranya ialah berupa penyaluran kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP). Selain itu telah dibangun sejumlah lokasi bagi pengusaha kecil yang dikenal dengan Lingkungan Industri Kecil (LIK).

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa tingkat efisiensi industri kecil secara keseluruhan menujukkan peningkatan sedangkan industri besar dan menengah justru mengalami penurunan. Dilihat dari komposisi ekspor Indonesia yang menunjukkan semakin dominasinya produk unskilled labor intensive, jelas menunjukkan pertanda baik untuk peranan industri kecil dalam ekspor cenderung meningkat dan tidak bisa diabaikan.

Di era deregulasi dan liberalisasi ditandai oleh menguatnya posisi swasta. Kecenderungan persaingan yang semakin ketat yang berdasarkan kekuatan pasar tentu saja cenderung memberikan kesempatan kepada yang telah memiliki posisi kuat, yang pada umumnya diperoleh dari kedekatan dunia usaha dengan kalangan birokrasi tertentu. Namun anehnya, mereka justru tidak mampu untuk mengemban misi nasional. Salah sati indikasinya adalah kecenderungan proporsi output yang diekspor oleh industri menengah dan besar kian kecil. Indikator lainnya adalah menurunnya efisiensi industri besar dan menengah. Persaingan di industri kecil dan pengusaha lemah justru sangat ketat, karena mekanisme pasar lebih berperan. Tidak heran kalau yang masih bisa bertahan yang efisiensinya masih tinggi. Hal inilah yang membuat efisiensi industri kecil dan rumah tangga mengalami peningkatan.

Namun, dari uraian diatas tidak berarti industri besar hanya merugikan dan sama sekali tidak menguntungkan perekonomian nasional. Daya serap tebaga kerja, setoran pajak dan berbagai impuls ekonomi bersumber dari perusahaan besar tetap harus diakui. Yang perlu digarisbawahi adalah masih banyak yang harus dibenahi untuk menciptakan struktur ekonomi nasional yang benar-benar handal.

  1. Kesenjangan antar daerah


     

  • Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

  • Otonomi Daerah di Indonesia

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan


     

  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:

  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim.
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju


     

  • Problem Kesenjangan di Era Otonomi

Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya yang melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin.

Sejak otonomi bergulir kesenjangan pembangunan terjadi tidak hanya dalam satu daerah, tetapi juga antar daerah, atau sederhananya secara holistik antar satu daerah dengan daerah lainnya juga semakin timpang. Kesenjangan ini juga diperparah memang dengan primordialisme daerah yang mengkristal, sehingga masing-masing daerah tidak merasa memiliki kewajiban atau sense terhadap yang lainnya. Kemudian tidak ada suatu upaya untuk melakukan sinergisitas pembangunan antar daerah yang dapat mengembangkan kapasitas pembangunannya secara bersama dan bersifat regional.

Pemerintah pusat juga gagal dalam menjembatani terciptanya proses sinergisitas pembangunan antar daerah ini, sehingga tidak mampu mengeliminir terjadinya ketimpang-ketimpangan tersebut. Pemerintah pusat gagal dalam merumuskan regulasi yang cocok dan mampu menjembatani permasalahan tersebut, termasuk gagal juga merumuskan regulasi yang dapat melindungi segala sumber daya yang ada di daerah dari eksploitasi berlebihan.

Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia, memang masih banyak kelemahan, namun ini adalah konsekuensi dari upaya untuk memberdayakan masyarakat di daerah, ke depan yang diperlukan adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan tersebut. Termasuk proses dan upaya meminimalisir otonomi daerah sebagai ladang basah KKN di daerah yang dilakukan oleh tikus-tikus lokal.


 


 

BAB 3


 

Kesimpulan

    Dari hasil penulisan karya tulis saya dapat disimpulkan bahwa laju perkembangan perekonomian indonesia memang sangat pesat, namun masih banyak sekali hal-hal yang masih harus di benahi agar perekonomian bisa berjalan selaras dengan lingkungan kehidupan masyarakat.


 

Penutup

    Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca. Saya mohon maaf apabila dalam penulisan karya tulis ini masih banyak kesalahan, karena saya masih dalam tahap pembelajaraan.

    Sekian dan terima kasih.    

    

Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_perekonomian

http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah

http://fasilitator-masyarakat.org/problem-kesenjangan-antar-daerah-di-era-otonomi/

Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI (Faisal Basri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar