Review Jurnal Hukum Perdata (Revisi)
Kerjasama
Internasional di Bidang Hukum Perdata
Andreas
Bintoro Dewanto
Abstraksi
Uraian ini berusaha menunjukkan arti penting gagasan kollewijin tentang unifikasi Hukum Perdata Internasional. Sudargo Gautama sangat mendukung perwujudan gagasan ini. Bagi dia, keikutsertaan Indonesia dalam konperensi-konperensi Internasional bukanlah masalah gengsi akan tetapi masalah kebutuhan nyata. Amerika serikat memberikan sumbangan besar dalam penerimaan konvensi tentang Administrasi Nasional dari waisan-warisan dan konvensi tentang Product Liability.
Pendahuluan
Dalam pidato Dies Universitas Indonesia pada tanggal 10 ferbruari 1973, Sudargo Gautama mengingatkan kembali tetang gagasan kollenwijin.
Pokok masalah yang diidentifikasikan oleh kollenwijn ialah :
Prinsip manakah yang terbaik untuk menentukan apa yang di
namakan status personil ( personeel statuut) seseorang ?
Kita mengenal dua prinsip di bidang ini :
1.
Prinsip nasionalitas
Hukum yang ditentukan oleh
kewarganegaraannya
2.
Prinsip domisili (domicilie)
Tempat domisili seseorang menurut
hukum yang menentukan status personilnya.
Pembahasan
Secara garis besar Negara-negara di dunia juga dapat di kelompokkan menjadi dua golongan yaitu yang menganut prinsip nasionalitas dan yang menganut prinsip domisili. System hukum yang di anut tiap Negara bersifat rsional dan seringkali berbeda satu sama lain. Oleh karena itu orang selalu mendambakan adanya harmonisasi, bahkan unifikasi hukum perdata nasional.
Dua cara unifikasi yang kita kenal adalah :
1. Mengunifikasikan seluruh system hukum Negara-negara yang
turut menandatangani suatu konvensi yang berkaitan dengan masalah unifikasi
ini. Dengan kata lain orang dapat menciptakan “droit uniforme” (uniform law).
Contoh : konvensi wesel dan cek tahun 1930 yang di tanda tangani di JENEWA.
2. Menyeragamkan kaidah-kaidah hukum internasionalnya saja.
Jika untuk masalah-masalah tertentu dipakai kaidah-kaidah hukum perdata
nasional yang sama, maka persoalan hukum perdata internasional akan diselesaikan
dengan seragam. Contoh : perkara adopsi yang yang diadili oleh hukum Negara
yang menerima konvensi Den Haag tentang adopsi.
Usaha untuk mewujudkan Unifikasi Hukum Perdata Internasional telah di mulai sejak tahun 1893 di Den Haag. Konperensi-konperensi HPI di Den Haag pada mulanya masih bersifat konperensi diplomatic untuk menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI. Indonesia untuk pertama kalinya turut serta sebagai pengamat dalam komperensi Den Haag XI untuk HPI. Delegasi Republik Indonesia di pimpin oleh Sudargo Gautama, dan anggota lainnya. Indonesia juga sudah mulai membuka diri terhadap perkembangan hukum perdata internasional UU No.5 Thn 1968 yang di umumkan dalam lembaran Negara 1968 No. 32 memuat persetujuan pemerintah RI terhadap konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara warga asing mengenai penanaman modal.
Usaha untuk mewujudkan Unifikasi Hukum Perdata Internasional telah di mulai sejak tahun 1893 di Den Haag. Konperensi-konperensi HPI di Den Haag pada mulanya masih bersifat konperensi diplomatic untuk menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI. Indonesia untuk pertama kalinya turut serta sebagai pengamat dalam komperensi Den Haag XI untuk HPI. Delegasi Republik Indonesia di pimpin oleh Sudargo Gautama, dan anggota lainnya. Indonesia juga sudah mulai membuka diri terhadap perkembangan hukum perdata internasional UU No.5 Thn 1968 yang di umumkan dalam lembaran Negara 1968 No. 32 memuat persetujuan pemerintah RI terhadap konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara warga asing mengenai penanaman modal.
Pada mulanya orang telah sepakat bahwa dalam rangka
perjanjian internasional ,hukum yang berlaku ialah hukum yang dipilih oleh para
pihak sendiri. Para sarjana semua setuju bahwa hukum telah dipilih oleh para
pihak itulah hukum yang pertama-tama harus dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian
internasional.
Kesimpulan
Pada konperensi hukum internasional ini, Indonesia masih sebagai pengamat. Merupakan harapan banyak pihak, bahwa nantinya Indonesia akan jadi anggota penuh. Semula konpernsi di Den Haag memiliki tujuan secara progresif mengadakan unifikasi dan kodifikasi Hukum Perdata Internasional. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa konperensi-konperensi Den Haag tidak lagi mencapai kodifikasi menyeluruh tetapi hanya terbatas pada kaidah-kaidah hukum perdata internasional untuk masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka :
-
Gautama, S ( 1983 ), Capita selecta
Hukum Peerdata Internasioanal, Bandung : Alumni.
-
Gautama, S. ( 1985 ), Aneka Masalah
Hukum Perdata Internasional, Bandung : Alumni
-
Gautama, S ( 1986 ), Indonesia dan
Arbitrase Internasional, Bandung : Alumni.
-
Gautama, S. ( 1987 ), Pengantar
Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta: Binacipta.
Sumber:http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-akuntansi/article/view/8/pdf
Nama Kelompok :
-
Anggi Mustika Sari (20210824)
-
Hastanti Rusvita Mei (23210182)
-
Putri Khoirunnisa (25210455)
-
Rani Nuraini (25210644)
-
Rika Agustina (25210942)
Kelas : 2EB06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar